Sepintas dianalisis, dua kegelisahan di
atas bukanlah pernyataan tulus. Sebab ini terjadi di saat pemerintah
telah berhasil menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 51/2014 yang memuat
diperbolehkannya pembangunan revitalisasi Teluk Benoa. Sebelumnya,
kelompok-kelompok yang menolak nyaris diam. Tidak terlalu getol
melakukan kritik, tetapi kini semuanya menjadi lantang menyuarakan
penolakan. Ibarat ikan dikasih umpan, begitu agresif bahkan ovensif.
Pada kegelisahan yang lain, penolakan
tersebut justru begitu hangat ketika menyangkut Teluk Benoa, di luar
konteks itu, seperti problem reaklamasi dan destinasi di berbagai sisi
pulau Dewata yang lain, -seperti hotel dan pembangunan di perlbagai
tempat- dari dulu belum ada penolakan keras dan resisten. Padahal
pertumbuhan hotel dan raklamasi sebelum iktikad revitalisasi Teluk Benoa
di berbagai wilayah juga cukup besar. Di sini garis ideologis
kelompok-kelompok yang menolak benar-benar menyisakan tanda tanya.
Mereka begitu getol pada revitalisasi, tetapi bungkam seribu bahasa pada
reklamasi di lain tempat.
Seorang budayawan Bali, I Gusti Ngurah
Bagus Muditha (2015) mengatakan bahwa penolakan terhadap upaya
revitalisasi Teluk Benoa lebih condong pada kepentingan personal, bukan
kepentingan komunal (republika/16/1 lihat beritanya di sini).
Kepentingan personal tersebut kemudian dikonversi menjadi gerakan
pragmatis, maka pada saat itulah revitalisasi Teluk Benoa menjadi
sasaran kepentingan partikular segelintir orang. Sehingga pertaruhannya
bukan lagi persoalan kegelisaan pergeseran budaya dan sejenisnya, tetapi
lebih pada pertautan dan persaingan bisnis baik pada skala global
(baca: bisnis asing) maupun lokal. Di tingkat lokal, para pemilik hotel
dan restauran akan gelisah dan kebakaran jenggot ketika revitalisasi
Teluk Benoa menjadi destinasi wisata yang berskala internasional.
Pada konteks yang lain, pernyataan I
Gusti Ngrah bagus Muditha tersebut dapat ditafsirkan dengan beberapa
konteks. Pertama, bahwa arus kepentingan personal yang besar hanya
bertumpu pada logika bisnis an sich, kelompok ini tidak berpikir jauh ke
depan untuk mengakomudasi persoalan pelik ekologis di Teluk Benoa.
Padahal hari ini, Teluk Benoa mengalami pendangkalan akibat sedimentasi
dan abrasi yang berpotensi merusak hutan mangrove. Cara berpikir yang
berorientasi bisnis merupakan pengingkaran bagi upaya untuk membangun
keseimbangan ekologis di Teluk Benoa.
Kedua, kepentingan-kepentingan personal
di balik penolakan Teluk Benoa begitu tampak problematis.
Kelompok-kelompok yang menolak tidak memiliki data yang komprehensif
perihal beberapa persoalan yang mereka suarakan. Padahal dari laus
peraian Teluk Benoa yang seluas 1400 hektare, area yang akan
direvitalisasi untuk pertumbuhan ekonomi seluas 700 hektare (50 persen),
dan hanya 400 hektare (28,5 persen) yang akan dikembangkan sebagai
pusat-pusat wisata yang baru. Sisanya 300 hektare beserta perairan Teluk
Benoa akan dedikasikan untuk ruang terbuka hijau dan fasilitas sosial
serta fasilitas umum.
No comments:
Post a Comment