Wednesday, March 4, 2015

Penolakan Reklamasi Teluk Benoa: Motif Persaingan Bisnis

Di tengah upaya revitalisasi Teluk Benoa, ada beberapa paradoks yang muncul ke permukaan. Paradoks ini berkisar pada adanya beberapa kelompok sentimentil yang cukup ambisius menolak revitalisasi Teluk Benoa. Penolakannya berkisar pada kehawatiran berlebih terhadap adanya pergeseran kebudayaan Bali yang dinilai genuine. Bahkan tidak hanya itu bagi beberapa kelompok tertentu, revitalisasi Teluk benoa akan menjadi ancaman bagi wisata tirta. Dua term ini, tentu merupakan dua kegelisahan yang tak berdasar. Sebab fungsi revitalisasi justru akan menempatkan kebudayaan Bali dan pemfungsian wisata tirta kepada ruang semestinya. Akan ada revitalisasi untuk mengangkat kebudayaan sebagai kebanggaan pulau dewata.
Sepintas dianalisis, dua kegelisahan di atas bukanlah pernyataan tulus. Sebab ini terjadi di saat pemerintah telah berhasil menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 51/2014 yang memuat diperbolehkannya pembangunan revitalisasi Teluk Benoa. Sebelumnya, kelompok-kelompok yang menolak nyaris diam. Tidak terlalu getol melakukan kritik, tetapi kini semuanya menjadi lantang menyuarakan penolakan. Ibarat ikan dikasih umpan, begitu agresif bahkan ovensif.
Pada kegelisahan yang lain, penolakan tersebut justru begitu hangat ketika menyangkut Teluk Benoa, di luar konteks itu, seperti problem reaklamasi dan destinasi di berbagai sisi pulau Dewata yang lain, -seperti hotel dan pembangunan di perlbagai tempat- dari dulu belum ada penolakan keras dan resisten. Padahal pertumbuhan hotel dan raklamasi sebelum iktikad revitalisasi Teluk Benoa di berbagai wilayah juga cukup besar. Di sini garis ideologis kelompok-kelompok yang menolak benar-benar menyisakan tanda tanya. Mereka begitu getol pada revitalisasi, tetapi bungkam seribu bahasa pada reklamasi di lain tempat.
Seorang budayawan Bali, I Gusti Ngurah Bagus Muditha (2015) mengatakan bahwa penolakan terhadap upaya revitalisasi Teluk Benoa lebih condong pada kepentingan personal, bukan kepentingan komunal (republika/16/1 lihat beritanya di sini). Kepentingan personal tersebut kemudian dikonversi menjadi gerakan pragmatis, maka pada saat itulah revitalisasi Teluk Benoa menjadi sasaran kepentingan partikular segelintir orang. Sehingga pertaruhannya bukan lagi persoalan kegelisaan pergeseran budaya dan sejenisnya, tetapi lebih pada pertautan dan persaingan bisnis baik pada skala global (baca: bisnis asing) maupun lokal. Di tingkat lokal, para pemilik hotel dan restauran akan gelisah dan kebakaran jenggot ketika revitalisasi Teluk Benoa menjadi destinasi wisata yang berskala internasional.
Pada konteks yang lain, pernyataan I Gusti Ngrah bagus Muditha tersebut dapat ditafsirkan dengan beberapa konteks. Pertama, bahwa arus kepentingan personal yang besar hanya bertumpu pada logika bisnis an sich, kelompok ini tidak berpikir jauh ke depan untuk mengakomudasi persoalan pelik ekologis di Teluk Benoa. Padahal hari ini, Teluk Benoa mengalami pendangkalan akibat sedimentasi dan abrasi yang berpotensi merusak hutan mangrove. Cara berpikir yang berorientasi bisnis merupakan pengingkaran bagi upaya untuk membangun keseimbangan ekologis di Teluk Benoa.
Kedua, kepentingan-kepentingan personal di balik penolakan Teluk Benoa begitu tampak problematis. Kelompok-kelompok yang menolak tidak memiliki data yang komprehensif perihal beberapa persoalan yang mereka suarakan. Padahal dari laus peraian Teluk Benoa yang seluas 1400 hektare, area yang akan direvitalisasi untuk pertumbuhan ekonomi seluas 700 hektare (50 persen), dan hanya 400 hektare (28,5 persen) yang akan dikembangkan sebagai pusat-pusat wisata yang baru. Sisanya 300 hektare beserta perairan Teluk Benoa akan dedikasikan untuk ruang terbuka hijau dan fasilitas sosial serta fasilitas umum.

No comments:

Post a Comment